Marhaban Ya Ramadhan
Lebih besar mana musibah dunia atau musibah agama?
Jika kita ditanya, apakah musibah terbesar yang menimpa umat manusia? Bayangan kita akan membawa kita kepada bencana stunami di Aceh atau gempa di Jogja beberapa tahun silam, yang menewaskan ribuan jiwa.
Namun jika dicermati dengan kaca mata ukhrawi, orang yang menjadi korban tewas dalam musibah itu belum tentu ia sengsara. Bisa jadi justru ia diselamatkan dari berbagai kesulitan dunia.
Bencana terbesar dalam pandangan keagamaan adalah ketika seseorang terkena musibah agama. Bisa jadi ia termakan oleh syahwat, tertipu dengan teori-teori syubhat, atau tergelincir ke dalam kehidupan maksiat. Itulah musibah terbesar yang menimpa seseorang, karena akan menyebabkan kerugian di akhirat.
Musibah dalam agama adalah akhir dari kerugian, dan tidak ada keuntungan sedikit pun. Itulah sebabnya Rasulullah mengajarkan do’a kepada kita…
وَلاَ تَجْعَلْ مُصِيبَتَنَا فِى دِينِنَا, وَلاَ تَجْعَلِ الدُّنْيَا أَكْبَرَ هَمِّنَا, وَلاَ مَبْلَغَ عِلْمِنَا, وَلاَ تُسَلِّطْ عَلَيْنَا مَنْ لاَ يَرْحَمُنَا
Ya Allah, janganlah Engkau jadikan musibah mengenai agama kami, dan janganlah engkau jadikan dunia sebagai sebesar-besar keinginan kami dan tujuan akhir dari ilmu kami, dan janganlah Engkau kuasakan atas kami orang-orang yang tidak menyayangi kami (HR at-Tirmidzi dan an-Nasa’i)
Al-Qadli Syuraih mengatakan, Sesungguhnya jika aku ditimpa musibah maka aku ucapkan alhamdulillah empat kali; 1) Aku memuji-Nya karena musibah itu tidak lebih buruk dari yang telah terjadi, 2) aku memuji-Nya ketika Dia memberikan aku kesabaran menghadapinya, 3) aku memuji-Nya karena membuatku mampu mengucapkan kalimat istirja (innalillahi wa inna ilaihi rajiun) berharap akan pahala yang besar, dan 4) aku memuji-Nya karena Dia tidak menjadikannya sebuah musibah dalam agamaku.
Marilah kita mengenali beberapa ragam musibah dalam agama ini, supaya kita bisa lebih waspada dalam menjaga kehidupan kita, agar kelak kita bisa tetap membawa Islam ini hingga akhir hayat…
1- Terjerumus ke dalam kemusyrikan.
dengan ikhlas kepada Allah, tidak mempersekutukan sesuatu dengan Dia. Barangsiapa mempersekutukan sesuatu dengan Allah, maka adalah ia seolah-olah jatuh dari langit lalu disambar oleh burung, atau diterbangkan angin ke tempat yang jauh. (al-Hajj:31)
Orang yang terjerumus ke dalam kemusyrikan berarti ia telah celaka dan mengalami kehancuran yang tiada henti. Sebab dosa syirik adalah dosa yang tidak ada ampunannya. Firman Allah, “Allah tidak mengampuni dosa syirik, dan dia mengampuni dosa yang berada di bawah syirik bagi siapa yang dikehendaki-Nya. (An Nisa:116)
2- Terjebak ke dalam kehidupan bid’ah
Syarat diterimanya amal ada dua hal, yaitu ikhlas dan sesuai dengan tuntunan. Niat ikhlas tetapi suatu amal tidak sesuai dengan tuntunan, atau bid’ah, menjadikan amal tidak berguna.
مَنْ أَحْدَثَ فِيْ أَمْرِنَا مَا لَيْسَ مِنْهُ فَهُوَ رَدٌّ
Barangsiapa yang megada-adakan sesuatu (ibadah) di dalam urusan kami ini (Islam) padahal ia bukan darinya maka ia tertolak (al-Bukhari dan Muslim)
Sedangkan pelakunya akan mengalami kerugian karena amalnya tidak dinilai oleh Allah. Karena itulah rasulullah saw berwasiat
عن الْعِرْبَاضَ بْنَ سَارِيَةَ رضي الله عنه أنه قال: قَامَ فِينَا رَسُولُ اللهِ صلى الله عليه وسلم ذَاتَ يَوْمٍ ، فَوَعَظَنَا مَوْعِظَةً بَلِيغَةً، وَجِلَتْ مِنْهَا الْقُلُوبُ، وَذَرَفَتْ مِنْهَا الْعُيُونُ، فَقِيلَ: “يَا رَسُولَ اللهِ، وَعَظْتَنَا مَوْعِظَةَ مُوَدِّعٍ، فَاعْهَدْ إِلَيْنَا بِعَهْدٍ”، فَقَالَ: عَلَيْكُمْ بِتَقْوَى اللهِ، وَالسَّمْعِ وَالطَّاعَةِ، وَإِنْ عَبْدًا حَبَشِيًّا، وَسَتَرَوْنَ مِنْ بَعْدِي اخْتِلاَفًا شَدِيدًا، فَعَلَيْكُمْ بِسُنَّتِي، وَسُنَّةِ الْخُلَفَاءِ الرَّاشِدِينَ الْمَهْدِيِّينَ، عَضُّوا عَلَيْهَا بِالنَّوَاجِذِ، وَإِيَّاكُمْ وَالأُمُورَ الْمُحْدَثَاتِ، فَإِنَّ كُلَّ بِدْعَةٍ ضَلاَلَة (أخرجه ابن ماجة)
Dari Irbadl bin Sariyah ra, ia berkata; Pada suatu hari Rasulullah berdiri di tengah-tengah kami, lalu beliau memberi nasihat kepada kami, nasihat yang menggetarkan hati dan membuat mata berlinang air mata, lalu salah seorang shahabat bertanya kepada beliau, Ya Rasulullah, seakan-akan ini adalah nasehat perpisahan, maka berilah kami wasiat. Maka beliau bersabda: “Aku wasiatkan kepada kalian untuk tetap bertaqwa kepada Allah, dan senantiasa mendengar dan taat walaupun yang memimpin kalian adalah seorang budak Habasyi (Etiopia). Barangsiapa hidup (berumur panjang) di antara kalian niscaya dia akan melihat perselisihan yang banyak. Maka wajib atas kalian berpegang teguh dengan sunnahku dan sunnah Khulafa`ur Rasyidin yang mendapat petunjuk (yang datang sesudahku), gigitlah sunnah itu dengan gigi geraham kalian. Dan jauhilah perkara-perkara baru yang diada-adakan (dalam urusan agama, pent.). Karena sesungguhnya setiap perkara yang baru itu bid’ah dan setiap bid’ah itu sesat.” (HR. Ahmad, Abu Dawud, dan At-Tirmidziy)
3- Meninggalkan ibadah dan terbiasa dengan maksiat
Musibah terbesar lainnya, adalah ketika seseorang dengan mudah meninggalkan ibadah kepada Allah yang telah ditetapkan di dalam syari’at. Berapa banyak orang yag telah mengaku dirinya muslim, tetapi tidak mau menunaikan kewajiban shalat. Dan berapa banyak orang shalat, yang tidak mau ke masjid untuk menunaikan shalat secara berjama’ah.
Sebagian di antara kaum muslimin terjebak ke dalam pemahaman bahwa shalat berjama’ah hanyalah sebuah keutamaan saja, bukan kewajiban. Itulah syubhat, atau kerancuan pemahaman. Jika memang shalat berjama’ah hanyalah sebuah keutamaan saja, maka tentunya Abdullah ibnu Ummi Maktum, seorang yang buta, akan diizinkan oleh Rasulullah untuk tidak hadir di masjid untuk shalat berjama’ah. Kenyataannya, meskipun beliau buta, jalan masih banyak binatang melata, tidak ada orang yang menuntunnya ke masjid, beliau tidak mengizinkan Ibnu Ummi maktum untuk shalat seorang diri di rumahnya.
Para shahabat adalah orang-orang yang sangat memperhatikan shalat berjama’ah ini. Bahkan mereka senantiasa berusaha agar tidak terlambat bertakbiratul ihram bersama dengan Imam. Mereka menganggap tidak menunaikan shalat secara berjama’ah sebagai sebuah musibah besar. Hatim al-Asham mengatakan, “Musibah agama itu lebih besar daripada musibah dunia. Ketika anak putriku meninggal lebih dari sepuluh ribu orang bertakziah, tetapi kenapa ketika akau tertinggal dari shalat berjama’ah tidak ada seorang pun yang bertakziah?”
Meninggalkan ibadah karena sesuatu dunia yang mubah adalah suatu musibah besar, kecelakaan besar. Tetapi masih ada kecelakaan dan musibah yang lebih besar lagi, yaitu orang meninggalkan kewajiban syari’at hanya karena mengejar kemaksiatan. Seseorang meninggalkan shalat karena asyik dengan perjudiannya. Tidak berpuasa, karena asyik dengan minuman kerasnya. Tidak berjama’ah karena sibuk berpacaran, enggan mendatangi pengajian karena berat meninggalkan sinetron, dan seterusnya.
4- Tidak bersabar atas musibah dunia yang menimpanya
Berbicara tentang sabar, kadang-kadang orang mengatakan bahwa sabar itu ada batasnya. Ini adalah ungkapan orang yang sudah tidak mampu lagi bersabar. Allah mengajarkan kesabaran dan tidak pernah memberikan batas. Ini maknanya, bersabar itu harus dilakukan terus sehingga Allah mengganti musibah dengan kenikmatan.
Orang yang mengatakan sabar ada batasnya, sesungguhnya ia tidak faham makna sabar. Sabar adalah pengakuan seorang hamba, bahwa segala musibah itu adalah dari Allah, karena itulah ia tanggung segala cobaan ini dengan mengharap pahala dari Allah.
Dengan penjelasan makna sabar seperti ini, orang yang tidak mau bersabar terhadap cobaan dunia yang menimpanya, maka musibah itu bisa berpindah kepada agamanya. Sebab di dalam ketidak sabaran terhadap musibah itu terkandung sikap berpaling dan ingkar tehadap taqdir yang ditetapkan oleh Allah swt. Apalagi jika ia tertimpa musibah lalu mengadu ke dukun, ini adalah kebodohan dan musibah yang amat besar. Seorang ulama’ mengatakan, ”Orang yang bodoh adalah mengadukan Allah kepada makhluk. Ini adalah kebodohan yang luar bisa terhadap siapa yang diadukan dan yang dijadikan tempat mengadu. Yang diadukan adalah Dzat yang Maha sempurna, tempat mengadunya kepada makhluk yang lemah dan penuh kekurangan. Akankah kita mengadukan dzat yang Maha penyayang kepada orang yang tak bisa memberikan kasih sayang? Akankah kita mengadukan Dzat yang sempurna kepada makhluk yang terbatas? Akankah kita mengadukan Dzat yang Maha Perkasa kepada makhluk yang lemah?
Marilah kita telaah kembali diri kita masing-masing. Marilah kita cermati hati kita masing-masing. Jika masih ada potensi-potensi untuk munculnya musibah keagamaan di dalam diri kita, marilah segera kita bersihkan. Kita cuci hati dan jiwa kita, semoga Allah memberikan hidayah, Allah menuntun kita di jalanNya yang lurus. Agar kita senantiasa meniti jalan lurus itu hingga akhir hayat kita.
”Wahai orang-orang yang beriman, bertaqwalah kepada Allah dengan sebenar-benar taqwa. Dan janganlah sekali-kali kamu mati, kecuali kalian menganut agama Islam”
Jika kita ditanya, apakah musibah terbesar yang menimpa umat manusia? Bayangan kita akan membawa kita kepada bencana stunami di Aceh atau gempa di Jogja beberapa tahun silam, yang menewaskan ribuan jiwa.
Namun jika dicermati dengan kaca mata ukhrawi, orang yang menjadi korban tewas dalam musibah itu belum tentu ia sengsara. Bisa jadi justru ia diselamatkan dari berbagai kesulitan dunia.
Bencana terbesar dalam pandangan keagamaan adalah ketika seseorang terkena musibah agama. Bisa jadi ia termakan oleh syahwat, tertipu dengan teori-teori syubhat, atau tergelincir ke dalam kehidupan maksiat. Itulah musibah terbesar yang menimpa seseorang, karena akan menyebabkan kerugian di akhirat.
Musibah dalam agama adalah akhir dari kerugian, dan tidak ada keuntungan sedikit pun. Itulah sebabnya Rasulullah mengajarkan do’a kepada kita…
وَلاَ تَجْعَلْ مُصِيبَتَنَا فِى دِينِنَا, وَلاَ تَجْعَلِ الدُّنْيَا أَكْبَرَ هَمِّنَا, وَلاَ مَبْلَغَ عِلْمِنَا, وَلاَ تُسَلِّطْ عَلَيْنَا مَنْ لاَ يَرْحَمُنَا
Ya Allah, janganlah Engkau jadikan musibah mengenai agama kami, dan janganlah engkau jadikan dunia sebagai sebesar-besar keinginan kami dan tujuan akhir dari ilmu kami, dan janganlah Engkau kuasakan atas kami orang-orang yang tidak menyayangi kami (HR at-Tirmidzi dan an-Nasa’i)
Al-Qadli Syuraih mengatakan, Sesungguhnya jika aku ditimpa musibah maka aku ucapkan alhamdulillah empat kali; 1) Aku memuji-Nya karena musibah itu tidak lebih buruk dari yang telah terjadi, 2) aku memuji-Nya ketika Dia memberikan aku kesabaran menghadapinya, 3) aku memuji-Nya karena membuatku mampu mengucapkan kalimat istirja (innalillahi wa inna ilaihi rajiun) berharap akan pahala yang besar, dan 4) aku memuji-Nya karena Dia tidak menjadikannya sebuah musibah dalam agamaku.
Marilah kita mengenali beberapa ragam musibah dalam agama ini, supaya kita bisa lebih waspada dalam menjaga kehidupan kita, agar kelak kita bisa tetap membawa Islam ini hingga akhir hayat…
1- Terjerumus ke dalam kemusyrikan.
dengan ikhlas kepada Allah, tidak mempersekutukan sesuatu dengan Dia. Barangsiapa mempersekutukan sesuatu dengan Allah, maka adalah ia seolah-olah jatuh dari langit lalu disambar oleh burung, atau diterbangkan angin ke tempat yang jauh. (al-Hajj:31)
Orang yang terjerumus ke dalam kemusyrikan berarti ia telah celaka dan mengalami kehancuran yang tiada henti. Sebab dosa syirik adalah dosa yang tidak ada ampunannya. Firman Allah, “Allah tidak mengampuni dosa syirik, dan dia mengampuni dosa yang berada di bawah syirik bagi siapa yang dikehendaki-Nya. (An Nisa:116)
2- Terjebak ke dalam kehidupan bid’ah
Syarat diterimanya amal ada dua hal, yaitu ikhlas dan sesuai dengan tuntunan. Niat ikhlas tetapi suatu amal tidak sesuai dengan tuntunan, atau bid’ah, menjadikan amal tidak berguna.
مَنْ أَحْدَثَ فِيْ أَمْرِنَا مَا لَيْسَ مِنْهُ فَهُوَ رَدٌّ
Barangsiapa yang megada-adakan sesuatu (ibadah) di dalam urusan kami ini (Islam) padahal ia bukan darinya maka ia tertolak (al-Bukhari dan Muslim)
Sedangkan pelakunya akan mengalami kerugian karena amalnya tidak dinilai oleh Allah. Karena itulah rasulullah saw berwasiat
عن الْعِرْبَاضَ بْنَ سَارِيَةَ رضي الله عنه أنه قال: قَامَ فِينَا رَسُولُ اللهِ صلى الله عليه وسلم ذَاتَ يَوْمٍ ، فَوَعَظَنَا مَوْعِظَةً بَلِيغَةً، وَجِلَتْ مِنْهَا الْقُلُوبُ، وَذَرَفَتْ مِنْهَا الْعُيُونُ، فَقِيلَ: “يَا رَسُولَ اللهِ، وَعَظْتَنَا مَوْعِظَةَ مُوَدِّعٍ، فَاعْهَدْ إِلَيْنَا بِعَهْدٍ”، فَقَالَ: عَلَيْكُمْ بِتَقْوَى اللهِ، وَالسَّمْعِ وَالطَّاعَةِ، وَإِنْ عَبْدًا حَبَشِيًّا، وَسَتَرَوْنَ مِنْ بَعْدِي اخْتِلاَفًا شَدِيدًا، فَعَلَيْكُمْ بِسُنَّتِي، وَسُنَّةِ الْخُلَفَاءِ الرَّاشِدِينَ الْمَهْدِيِّينَ، عَضُّوا عَلَيْهَا بِالنَّوَاجِذِ، وَإِيَّاكُمْ وَالأُمُورَ الْمُحْدَثَاتِ، فَإِنَّ كُلَّ بِدْعَةٍ ضَلاَلَة (أخرجه ابن ماجة)
Dari Irbadl bin Sariyah ra, ia berkata; Pada suatu hari Rasulullah berdiri di tengah-tengah kami, lalu beliau memberi nasihat kepada kami, nasihat yang menggetarkan hati dan membuat mata berlinang air mata, lalu salah seorang shahabat bertanya kepada beliau, Ya Rasulullah, seakan-akan ini adalah nasehat perpisahan, maka berilah kami wasiat. Maka beliau bersabda: “Aku wasiatkan kepada kalian untuk tetap bertaqwa kepada Allah, dan senantiasa mendengar dan taat walaupun yang memimpin kalian adalah seorang budak Habasyi (Etiopia). Barangsiapa hidup (berumur panjang) di antara kalian niscaya dia akan melihat perselisihan yang banyak. Maka wajib atas kalian berpegang teguh dengan sunnahku dan sunnah Khulafa`ur Rasyidin yang mendapat petunjuk (yang datang sesudahku), gigitlah sunnah itu dengan gigi geraham kalian. Dan jauhilah perkara-perkara baru yang diada-adakan (dalam urusan agama, pent.). Karena sesungguhnya setiap perkara yang baru itu bid’ah dan setiap bid’ah itu sesat.” (HR. Ahmad, Abu Dawud, dan At-Tirmidziy)
3- Meninggalkan ibadah dan terbiasa dengan maksiat
Musibah terbesar lainnya, adalah ketika seseorang dengan mudah meninggalkan ibadah kepada Allah yang telah ditetapkan di dalam syari’at. Berapa banyak orang yag telah mengaku dirinya muslim, tetapi tidak mau menunaikan kewajiban shalat. Dan berapa banyak orang shalat, yang tidak mau ke masjid untuk menunaikan shalat secara berjama’ah.
Sebagian di antara kaum muslimin terjebak ke dalam pemahaman bahwa shalat berjama’ah hanyalah sebuah keutamaan saja, bukan kewajiban. Itulah syubhat, atau kerancuan pemahaman. Jika memang shalat berjama’ah hanyalah sebuah keutamaan saja, maka tentunya Abdullah ibnu Ummi Maktum, seorang yang buta, akan diizinkan oleh Rasulullah untuk tidak hadir di masjid untuk shalat berjama’ah. Kenyataannya, meskipun beliau buta, jalan masih banyak binatang melata, tidak ada orang yang menuntunnya ke masjid, beliau tidak mengizinkan Ibnu Ummi maktum untuk shalat seorang diri di rumahnya.
Para shahabat adalah orang-orang yang sangat memperhatikan shalat berjama’ah ini. Bahkan mereka senantiasa berusaha agar tidak terlambat bertakbiratul ihram bersama dengan Imam. Mereka menganggap tidak menunaikan shalat secara berjama’ah sebagai sebuah musibah besar. Hatim al-Asham mengatakan, “Musibah agama itu lebih besar daripada musibah dunia. Ketika anak putriku meninggal lebih dari sepuluh ribu orang bertakziah, tetapi kenapa ketika akau tertinggal dari shalat berjama’ah tidak ada seorang pun yang bertakziah?”
Meninggalkan ibadah karena sesuatu dunia yang mubah adalah suatu musibah besar, kecelakaan besar. Tetapi masih ada kecelakaan dan musibah yang lebih besar lagi, yaitu orang meninggalkan kewajiban syari’at hanya karena mengejar kemaksiatan. Seseorang meninggalkan shalat karena asyik dengan perjudiannya. Tidak berpuasa, karena asyik dengan minuman kerasnya. Tidak berjama’ah karena sibuk berpacaran, enggan mendatangi pengajian karena berat meninggalkan sinetron, dan seterusnya.
4- Tidak bersabar atas musibah dunia yang menimpanya
Berbicara tentang sabar, kadang-kadang orang mengatakan bahwa sabar itu ada batasnya. Ini adalah ungkapan orang yang sudah tidak mampu lagi bersabar. Allah mengajarkan kesabaran dan tidak pernah memberikan batas. Ini maknanya, bersabar itu harus dilakukan terus sehingga Allah mengganti musibah dengan kenikmatan.
Orang yang mengatakan sabar ada batasnya, sesungguhnya ia tidak faham makna sabar. Sabar adalah pengakuan seorang hamba, bahwa segala musibah itu adalah dari Allah, karena itulah ia tanggung segala cobaan ini dengan mengharap pahala dari Allah.
Dengan penjelasan makna sabar seperti ini, orang yang tidak mau bersabar terhadap cobaan dunia yang menimpanya, maka musibah itu bisa berpindah kepada agamanya. Sebab di dalam ketidak sabaran terhadap musibah itu terkandung sikap berpaling dan ingkar tehadap taqdir yang ditetapkan oleh Allah swt. Apalagi jika ia tertimpa musibah lalu mengadu ke dukun, ini adalah kebodohan dan musibah yang amat besar. Seorang ulama’ mengatakan, ”Orang yang bodoh adalah mengadukan Allah kepada makhluk. Ini adalah kebodohan yang luar bisa terhadap siapa yang diadukan dan yang dijadikan tempat mengadu. Yang diadukan adalah Dzat yang Maha sempurna, tempat mengadunya kepada makhluk yang lemah dan penuh kekurangan. Akankah kita mengadukan dzat yang Maha penyayang kepada orang yang tak bisa memberikan kasih sayang? Akankah kita mengadukan Dzat yang sempurna kepada makhluk yang terbatas? Akankah kita mengadukan Dzat yang Maha Perkasa kepada makhluk yang lemah?
Marilah kita telaah kembali diri kita masing-masing. Marilah kita cermati hati kita masing-masing. Jika masih ada potensi-potensi untuk munculnya musibah keagamaan di dalam diri kita, marilah segera kita bersihkan. Kita cuci hati dan jiwa kita, semoga Allah memberikan hidayah, Allah menuntun kita di jalanNya yang lurus. Agar kita senantiasa meniti jalan lurus itu hingga akhir hayat kita.
”Wahai orang-orang yang beriman, bertaqwalah kepada Allah dengan sebenar-benar taqwa. Dan janganlah sekali-kali kamu mati, kecuali kalian menganut agama Islam”
Komentar
Posting Komentar